tujuan

Blog ini kami buat dengan tujuan untuk mamberikan Informasi kepada seluruh warga BK yang ada di Indonesia.Dengan begitu ada pertukaran Informasi agar wawasan kita semakin meningkat,,

Jumat, 25 Mei 2012

17 TEKNIK DASAR KOMUNIKASI KONSELING DAN CONTOHPERNYATAAN KONSELOR SECARA VERBAL DAN ATAU NONVERBAL

17 TEKNIK DASAR KOMUNIKASI KONSELING DAN CONTOHPERNYATAAN KONSELOR SECARA VERBAL DAN ATAU NONVERBAL
.
1.Attending ( Perhatian )
Attending adalah ketrampilan/ teknik yang digunakan konselor untuk memusatkan perhatian kepada klien agar klien merasa dihargai dan terbinasuasana yang kondusif sehingga klien bebasmengekspresikan/mengungkapkan pikiran , perasaan ataupun tingkahlakunya.Ketrampilan attending meliputi :a.Posisi badan (termasuk gerak isyarat dan ekspresi muka) diantara posisi badanYang baik dalam attending mencakup :-Duduk dengan badan menghadap klien-Tangan diatas pangkuan atau berpegang bebas atau kadang-kadang diGunakan untuk menunjukan gerak isyarat yang sedangdikomunikasikan secara verbal-Responsif dengan menggunakan bagian wajah, umpamanyasenyumSpontan atau anggukan kepala sebagai persetujuan atau pemahamanDan kerutan dahi tanda tidak mengerti-Badan tegak lurus tanpa kaku dan sesekali condong kearahklien untuk Menunjukan kebersamaan dengan klien
This is a collapser for unmonetizable languages
 
 b.Kontak mataKontak mata yang baik berlangsung dengan melihat klien pada waktudia ber-Bicara kepada konselor dan sebaliknya. Kontak mata harusdipertahankan atauDipelihara dengan menggunakan pandangan spontan yangmengekspresikanMinat dan keinginan mendengarkan serta merespon klien
2.Opening ( Pembukaan )
Opening adalah ketrampilan / teknik untuk membuka / memulaikomunikasi / hubungan konseling.Hal – hal yang perlu dilakukan :a. Penyambutan- Verbal : Konselor memberi atau menjawab salam,menyebut nama klien,mempersilahkan duduk, dll.- Non Verbal : Konselor segera membuka pintu ruang konseling, jabat tangan, senyum dengan ceria,mendampingi/mengiringi klien saat menujutempat duduk, menempatkan klien pada tempatduduk yang lebih baik, duduk sesudah kliennyduduk, dll’b. Pembicaraan topik netralc. Pemindahan Topik Netral ke permulaan konseling3.
Acceptance
Acceptance adalah teknik yang digunakan konselor untuk menunjukanminat dan pemahaman terhadap hal-hal yang dikemukakan klien.
 
Contoh Verbal :Bentuk pendek : teruskan/terus, oh ...ya; lalu/kemudian. Ya .. ya ..; hem ..hem ..Bentuk panjang : saya memahami ..; saya menghayati ..; saya dapatmerasakan ..;Saya dapat mengerti ..., dll.
4.Restatement ( Pengulangan )
Restatement adalah teknik yang digunakan konselor untuk mengulangi/menyatakan kembali pernyataan klien ( sebagian atauseluruhnya ) yang dianggap penting.Contoh :Klien : ” Sebetulnya saya ingin masuk jurusan teknik industri, tetapiibu tidak Setuju bila saya memasuki jurusan tersebut..Konselor : ” Ibu tidak setuju ..”
5.Reflection Of Feeling ( Pemantulan perasaan )
Reflection of feeling ( pemantulan perasaan ) adalah teknik yangdigunakan konselor untuk memantulkan perasaan/sikap yang terkandungdi balik pernyataan klien.ContohKlien : “ Pak, saya sudah belajar dengan giat sebelum menghadapiujian, tetapi nilai yang saya terima jauh di bawah yangsaya harapkan “.Konselor : “ Sepertinya Anda merasa kecewa terhadap nilai ujian yangAnda terima “
6.Clarification
Clarification adalah teknik yang digunakan untuk mengungkapkankembali isi pernyataan klien dengan menggunakan kata-kata baru dansegar.
 
ContohKlien :” Saya pernah meminjamkan buku catatan kuliah konselingindividual kepada Andi, tetapi ia tidak mengembalikannyalagi kepada saya. Ee.. kemarin lusa adiknya, Ari, mau pinjam buku Psikologi Belajar pada saya. Saya tidak memberinyaPak. Dia kan adik Andi, sudah tentu dia juga tidak akanmengembalikan buku yang dipinjamnya itu kepada saya ”.Konselor : ” Dengan kata lain, Anda menyamakan Ari dengan Andi”.
7.Paraprashing
Paraprashing adalah kata-kata konselor untuk menyatakan kembali asensidari ucapan-ucapan klien.ContohKlien :”Dia tidak mengijinkan saya melamar pekerjaan itu, sayamenginginkan pekerjaan itu, tetapi dia menggagalkannya,sebenarnya dia hanya tidak membiarkan saya meninggalkankota ini”.Pesan utama : pada kalimat terakhir, yaitu ia takut berpisah.Paraprasenya : Apakah anda merasakan bahwa ia sebenarnya takut berpisah dengan anda?.
8.Structuring ( Pembatasan )
Structuring adalah teknik yang digunakan konselor untuk memberikan batas-batas/ pembatasan agar proses konseling berjalan sesuai dengan apayang menjadi tujuan dalam konseling.Jenis – jenis Structuring :a.Time limit ( Pembatasan waktu )ContohKlien : “ Pak, sebetulnya saya sudah seminggu yang lalu inginmenemui Bapak, tetspi bsru ksli ini saya dapat berjumpadengan Bapak. Dan hari ini saya dapat menghadap Bapak dari jam 8.00 sampai jam 8.30, karena jam 8.30 nanti sayaada acara pembekalan PPL di Laboratorium”.
 
Konselor : “ Kalau demikian, marilah kita manfaatkan waktu selama30 menit ini dengan sebaik-baiknya”. b. Role Limit ( Pembatasan peran )ContohKlien : ” Akhir – akhir ini saya sulit sekali mengkonsentrasikan diridalam belajar, karena itu saya menemui Bapak untuk meminta nasihat bagaimana cara belajar yang baik ”.Konselor : ” Anda meminta nasihat dari saya ?” Perlu anda ketahui bahwa saya tidak dapat memberikan nasihat sebagaimanayang anda minta, tetapi marilah kita bicarakan bersamamasalah Anda itu kemudian kita cari jalan keluarnya ”.c.Problem Limit ( Pembatasan Masalah )ContohKlien : ” Pak saya sulit sekali berkonsentrasi belajar sehingga ketikaujian berlangsung saya tidak dapat mengerjakan dengan baik maka dari itu nilai saya menjadi jelek. Disamping itu,dikelas saya juga sulit sekali bergaul dengan lawan jenisdan satu hal lagi Pak, gimana ya caranya agar saya dapatmenyesuaikan diri dengan lingkungan baru ?”Konselor : ” Dalam masalah yang anda kemukakan tadi setidaknya adatiga masalah yaitu masalah berkonsentrasi belajar, masalahdengan bergaul dengan lawan jenis, dan masalah penyesuaian diri. Nah dari ketiga masalah tersebut manayang mendesak untuk kita bicarakan terlebih dahulu ?.d.Action Limit ( Pembatasan tindakan )ContohKlien : ”( Datang ke ruang konseling dengan marah – marah, wajahmemerah dan sambil menyobek – nyobek kertas )
 
Konselor : ” Tenang – tenang .., Anda boleh mengutarakan apa sajadisini, tetapi satu hal yang tidak boleh anda lakukandisini yaitu mengotori ruangan ini ”.
9.Lead ( Pengarahan )
Lead adalah teknik /ketrampilan yang digunakan konselor untuk mengarahkan pembicaraan klien dari satu hal kehal yang lain secaralangsung. Ketrampilan ini sering pula disebut ketrampilan bertanya,karena dalam penggunaannya banyak menggunakan kalimat-kalimattanya.Jenis – jenis Lead :a.Lead UmumTeknik pengarahan/pertanyaan yang memberikan kesempatan kepadaklien untuk bebas mengeleborasi, mengeksplorasi, atau memberikanreaksi / jawaban dari berbagai kemungkinan sesuai dengan keinginanklien. b.Lead KhususTeknik pengarahan/pertanyaan untuk memberikan suatureaksi/jawaban yang spesifik / tertentu.
10.Silence ( Diam )
Silence adalah suasana hening, tidak ada interaksi verbal antara konselor dan klien, dalam proses konseling.ContohKonselor : Konselor merasa dirinya terlalu aktif dan memutuskan untuk mengurangi keaktifan tersebut dengan memberikankesempatan kepada klien untuk lebih banyak aktif dan bertanggungjawab dengan menggunakan teknik diam.Klien : ”Ya itu Pak, saya selalu menggunakan kebiasaan-kebiasaanorang tua saya sebagai ukuran menilai tingkah laku istriasaya sehingga ia selalu marah kepada saya. Kalau ingat itusemua, saya sedih sekali ...( Klien diam )
 

.
1.Attending ( Perhatian )
Attending adalah ketrampilan/ teknik yang digunakan konselor untuk memusatkan perhatian kepada klien agar klien merasa dihargai dan terbinasuasana yang kondusif sehingga klien bebasmengekspresikan/mengungkapkan pikiran , perasaan ataupun tingkahlakunya.Ketrampilan attending meliputi :a.Posisi badan (termasuk gerak isyarat dan ekspresi muka) diantara posisi badanYang baik dalam attending mencakup :-Duduk dengan badan menghadap klien-Tangan diatas pangkuan atau berpegang bebas atau kadang-kadang diGunakan untuk menunjukan gerak isyarat yang sedangdikomunikasikan secara verbal-Responsif dengan menggunakan bagian wajah, umpamanyasenyumSpontan atau anggukan kepala sebagai persetujuan atau pemahamanDan kerutan dahi tanda tidak mengerti-Badan tegak lurus tanpa kaku dan sesekali condong kearahklien untuk Menunjukan kebersamaan dengan klien
This is a collapser for unmonetizable languages

 b.Kontak mataKontak mata yang baik berlangsung dengan melihat klien pada waktudia ber-Bicara kepada konselor dan sebaliknya. Kontak mata harusdipertahankan atauDipelihara dengan menggunakan pandangan spontan yangmengekspresikanMinat dan keinginan mendengarkan serta merespon klien
2.Opening ( Pembukaan )
Opening adalah ketrampilan / teknik untuk membuka / memulaikomunikasi / hubungan konseling.Hal – hal yang perlu dilakukan :a. Penyambutan- Verbal : Konselor memberi atau menjawab salam,menyebut nama klien,mempersilahkan duduk, dll.- Non Verbal : Konselor segera membuka pintu ruang konseling, jabat tangan, senyum dengan ceria,mendampingi/mengiringi klien saat menujutempat duduk, menempatkan klien pada tempatduduk yang lebih baik, duduk sesudah kliennyduduk, dll’b. Pembicaraan topik netralc. Pemindahan Topik Netral ke permulaan konseling3.
Acceptance
Acceptance adalah teknik yang digunakan konselor untuk menunjukanminat dan pemahaman terhadap hal-hal yang dikemukakan klien.

Contoh Verbal :Bentuk pendek : teruskan/terus, oh ...ya; lalu/kemudian. Ya .. ya ..; hem ..hem ..Bentuk panjang : saya memahami ..; saya menghayati ..; saya dapatmerasakan ..;Saya dapat mengerti ..., dll.
4.Restatement ( Pengulangan )
Restatement adalah teknik yang digunakan konselor untuk mengulangi/menyatakan kembali pernyataan klien ( sebagian atauseluruhnya ) yang dianggap penting.Contoh :Klien : ” Sebetulnya saya ingin masuk jurusan teknik industri, tetapiibu tidak Setuju bila saya memasuki jurusan tersebut..Konselor : ” Ibu tidak setuju ..”
5.Reflection Of Feeling ( Pemantulan perasaan )
Reflection of feeling ( pemantulan perasaan ) adalah teknik yangdigunakan konselor untuk memantulkan perasaan/sikap yang terkandungdi balik pernyataan klien.ContohKlien : “ Pak, saya sudah belajar dengan giat sebelum menghadapiujian, tetapi nilai yang saya terima jauh di bawah yangsaya harapkan “.Konselor : “ Sepertinya Anda merasa kecewa terhadap nilai ujian yangAnda terima “
6.Clarification
Clarification adalah teknik yang digunakan untuk mengungkapkankembali isi pernyataan klien dengan menggunakan kata-kata baru dansegar.

ContohKlien :” Saya pernah meminjamkan buku catatan kuliah konselingindividual kepada Andi, tetapi ia tidak mengembalikannyalagi kepada saya. Ee.. kemarin lusa adiknya, Ari, mau pinjam buku Psikologi Belajar pada saya. Saya tidak memberinyaPak. Dia kan adik Andi, sudah tentu dia juga tidak akanmengembalikan buku yang dipinjamnya itu kepada saya ”.Konselor : ” Dengan kata lain, Anda menyamakan Ari dengan Andi”.
7.Paraprashing
Paraprashing adalah kata-kata konselor untuk menyatakan kembali asensidari ucapan-ucapan klien.ContohKlien :”Dia tidak mengijinkan saya melamar pekerjaan itu, sayamenginginkan pekerjaan itu, tetapi dia menggagalkannya,sebenarnya dia hanya tidak membiarkan saya meninggalkankota ini”.Pesan utama : pada kalimat terakhir, yaitu ia takut berpisah.Paraprasenya : Apakah anda merasakan bahwa ia sebenarnya takut berpisah dengan anda?.
8.Structuring ( Pembatasan )
Structuring adalah teknik yang digunakan konselor untuk memberikan batas-batas/ pembatasan agar proses konseling berjalan sesuai dengan apayang menjadi tujuan dalam konseling.Jenis – jenis Structuring :a.Time limit ( Pembatasan waktu )ContohKlien : “ Pak, sebetulnya saya sudah seminggu yang lalu inginmenemui Bapak, tetspi bsru ksli ini saya dapat berjumpadengan Bapak. Dan hari ini saya dapat menghadap Bapak dari jam 8.00 sampai jam 8.30, karena jam 8.30 nanti sayaada acara pembekalan PPL di Laboratorium”.

Konselor : “ Kalau demikian, marilah kita manfaatkan waktu selama30 menit ini dengan sebaik-baiknya”. b. Role Limit ( Pembatasan peran )ContohKlien : ” Akhir – akhir ini saya sulit sekali mengkonsentrasikan diridalam belajar, karena itu saya menemui Bapak untuk meminta nasihat bagaimana cara belajar yang baik ”.Konselor : ” Anda meminta nasihat dari saya ?” Perlu anda ketahui bahwa saya tidak dapat memberikan nasihat sebagaimanayang anda minta, tetapi marilah kita bicarakan bersamamasalah Anda itu kemudian kita cari jalan keluarnya ”.c.Problem Limit ( Pembatasan Masalah )ContohKlien : ” Pak saya sulit sekali berkonsentrasi belajar sehingga ketikaujian berlangsung saya tidak dapat mengerjakan dengan baik maka dari itu nilai saya menjadi jelek. Disamping itu,dikelas saya juga sulit sekali bergaul dengan lawan jenisdan satu hal lagi Pak, gimana ya caranya agar saya dapatmenyesuaikan diri dengan lingkungan baru ?”Konselor : ” Dalam masalah yang anda kemukakan tadi setidaknya adatiga masalah yaitu masalah berkonsentrasi belajar, masalahdengan bergaul dengan lawan jenis, dan masalah penyesuaian diri. Nah dari ketiga masalah tersebut manayang mendesak untuk kita bicarakan terlebih dahulu ?.d.Action Limit ( Pembatasan tindakan )ContohKlien : ”( Datang ke ruang konseling dengan marah – marah, wajahmemerah dan sambil menyobek – nyobek kertas )

Konselor : ” Tenang – tenang .., Anda boleh mengutarakan apa sajadisini, tetapi satu hal yang tidak boleh anda lakukandisini yaitu mengotori ruangan ini ”.
9.Lead ( Pengarahan )
Lead adalah teknik /ketrampilan yang digunakan konselor untuk mengarahkan pembicaraan klien dari satu hal kehal yang lain secaralangsung. Ketrampilan ini sering pula disebut ketrampilan bertanya,karena dalam penggunaannya banyak menggunakan kalimat-kalimattanya.Jenis – jenis Lead :a.Lead UmumTeknik pengarahan/pertanyaan yang memberikan kesempatan kepadaklien untuk bebas mengeleborasi, mengeksplorasi, atau memberikanreaksi / jawaban dari berbagai kemungkinan sesuai dengan keinginanklien. b.Lead KhususTeknik pengarahan/pertanyaan untuk memberikan suatureaksi/jawaban yang spesifik / tertentu.
10.Silence ( Diam )
Silence adalah suasana hening, tidak ada interaksi verbal antara konselor dan klien, dalam proses konseling.ContohKonselor : Konselor merasa dirinya terlalu aktif dan memutuskan untuk mengurangi keaktifan tersebut dengan memberikankesempatan kepada klien untuk lebih banyak aktif dan bertanggungjawab dengan menggunakan teknik diam.Klien : ”Ya itu Pak, saya selalu menggunakan kebiasaan-kebiasaanorang tua saya sebagai ukuran menilai tingkah laku istriasaya sehingga ia selalu marah kepada saya. Kalau ingat itusemua, saya sedih sekali ...( Klien diam )

13.Advice ( Saran/nasehat )
Advice adalah ketrapilan / teknik yang digunakan konselor untuk memberikan nasehat atau saran bagi klien agar dia dapat lebih jelas, pastimengenai apa yang akan dikerjakan.
14.Summary ( Ringkasan/kesimpulan )
Summary adalah ketrampilan/teknik yang digunakan konselor untuk menyimpulkan atau ringkasan mengenai apa yang telah dikemukakanklien pada proses komunikasi konseling.
15.Konfrontasi ( Perttentangan )
Konfrontasi adalah ketrampilan / teknik yang digunakan oleh konselor untuk menunjukan adanya kessenjangan, diskrepansi atau inkronguensidalam diri klien dan kemudian konselor mengupumpanbalikan kepadaklien.
16.Interpretasi ( Penafsiran )
Interpretasi adalah ketrampilan/teknik yang digunakan oleh konselor dimana berarti atau karena tingkah laku klien ditafsirkan/diduga dandimengerti dengan dikomunikasikan pada klien. Selain itu dalaminterpretasi konselor menggali arti dan makna yang terdapat di belakangkata – kata klien atau dibelakang perbuatan/tindakannya yang telahdiceritakannya.ContohKonselor :”Anda mengatakan tadi bahwa anda merasa malu berbadangemuk. Anda juga mengatakan dilain waktu, bahwa andasering berkata-kata kasar terhadap teman-teman dan sukamembeberkan kepada mereka semua kesalahan yangmereka perbuat. Apakah mungkin semua itu hanyalahmerupakan siasat yang anda gunakan untuk menutupi rasamalu itu?, Bagaimana menurut pendapat anda ?”

17.Termination ( Pengakhiran )
Termination adalah ketrampilan/teknik yang digunakan konselor untuk mengakhiri komunikasi konseling, baik mengakhiri untuk dilanjutkan pada pertemuan berikutnya maupun mengakhiri karena komunikasi konseling betul-betul telah ”breakhir’ContohKonselor : ” Baik, sekarang waktu telah menunjukan pukul 10.00sesuai kesepakatan kita diawal pertemuan tadi bahwa pertemuan ini hanya sampai pukul 10.00, maka marilah kitaakhiri pertemuan ini dan dapat kita lanjutkan minggudepan”.13.Advice ( Saran/nasehat )
Advice adalah ketrapilan / teknik yang digunakan konselor untuk memberikan nasehat atau saran bagi klien agar dia dapat lebih jelas, pastimengenai apa yang akan dikerjakan.

Rabu, 23 Mei 2012

Persamaan Teori Pembelajaran Menurut Para Tokoh


Indikasi

Watson
Guthrie
Thorndike
Skinner
Hull
Aliran
Behavior
Behavior
Behavior
Behavior
Behavior
Belajar
Interaksi antara stimulus dan respon.
S → R
Interaksi antara stimulus dan respon.
S → R
Interaksi antara stimulus dan respon.
S → R
Interaksi antara stimulus dan respon.
S → R
Interaksi antara stimulus dan respon.
S → R
Perilaku
Merupakan perolehan/hasil belajar bukan bawaan.
Merupakan perolehan/hasil belajar bukan bawaan.
Merupakan perolehan/hasil belajar bukan bawaan.
Merupakan perolehan/hasil belajar bukan bawaan.
Merupakan perolehan/hasil belajar bukan bawaan.
Pembelajaran
Menggunakan sistem drill/pembiasaan
Menggunakan sistem drill/pembiasaan
Menggunakan sistem drill/pembiasaan
Menggunakan sistem drill/pembiasaan
Menggunakan sistem drill/pembiasaan
Hasil belajar
Dapat diamati
Dapat diamati
Dapat diamati
Dapat diamati
Dapat diamati

Prinsip-Prinsip Belajar


Watson
(Environmentalisme)
Guthrie
(Contiguitas)
Thorndike
(Connectionisme)
Skinner
(Operant Conditioning)

Hull
Pavlov
(Classical Conditioning)

·      Orang lahir dengan banyak gerak reflek yang terbatas.
·      Frekuensi (frequency)
Yakni semakin sering kita melakukan suatu respon terhadap stimulus tertentu , semakin cenderung kita menjadikan respon tersebut sebagai stimulus lagi.
·      Resensi(recency)
Yakni semakin terbaru atu terkini kita melakukan respon terhadap stimulus tertentu, semakin cenderung kita melakukannya lagi.
·      Kombinasi stimuli yang mengiringi suatu gerakan bila diulangi akan cenderung untuk diiringi oleh gerakan itu.
·      Contiguity(kontiguitas) Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama.
·  The Law of Effect
kecenderungan untuk membuat respon bergantung pada konsekuensi respon tersebut, apabila itu memuaskan maka akan dilakukan berulang-ulang dan apabila mengecewakan akan dihentikan.
·  The Law of Readiness
Kesiapan peserta didik dalam melakukan kegiatan pembelajaran.

·  The Law of Exercise
Hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.







·      Yang paling penting dalam pembelajran adalah penguatan (penguatan positif maupun negatif) bukan hukuman.
·      Perilaku respondent: ketika ada stimulus respon terjadi secara otomatis. Pengutannya berupa stimulus tidak terkondisi.
·      Perilaku operant: perilaku yang dimunculkan individu dalam kaitannya dengan lingkungan untuk menjaga berlangsungnya konsekuensi tertentu. Penguatannya berupa imbalan.



Tujuan belajar seharusnya dispesifikasikan dahulu sebelum proses belajar
a. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus
dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus
lainnya akan meningkat.
b. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah
diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka
kekuatannya akan menurun.

PERBEDAAN PEMBELAJARAN BEHAVIOR DAN KOGNITIVE





Pembeda
BEHAVIOR
KOGNITIVE
Tokoh
Pavlov,Watson,Skinner,Hull dan Gutrie
Piaget, Bruner,Ausubel
Pengertian belajar
Belajar adalah perubahan tingkah laku/ perilaku yang nampak dan dapat diamati.
Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman
Strategi belajar
Pelatihan dan pembiasaan
Pemahaman
Peran guru
·       Berperan aktif dalam pembelajaran karena yang menjadi instruktur. (kegiatan belajar berpusat pada guru)
·       Guru harus dapat mengasosiasi stimulus dan respon secara tepat
·      Banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Pembangunan Pengetahuan
·       Guru hanya memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

·      Guru membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang selanjutnya siswa  menggeneralisasikannya untuk dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah dalam situasi lain.

Karakteristik pelajar
Pasif ;menerima materi dan menjalankan apa yang diperintahkan guru.

Aktif ;sumber pembelajaran tidak hanya berasal dari guru melainkan siswa mencari sendiri sumber-sumber lainnya.
Suasana
Mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif karena terpaku pada aturan(kurikulum).
Siswa diberikan ruang gerak yang bebas untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.

Materi
Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
Pandangan tentang siswa
Tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar
Setiap individu sudah memiliki kemampuan untuk belajar
Pengontrol
Reinforcement dan Punishment
Pemuas(satisfier) dan Pengganggu(annoyer)
Pendekatan
Pengkondisian
Pemahamn
Evaluasi
Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya dan biasanya evaluasi dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.

Adanya peningkatan pemahaman ketika sebelum pembelajaran dengan sesudah mengalami pembelajaran.
Kritik
Tidak mampu menjelaskan proses belajar yang kompleks karena tidak semua proses belajar dapat diamati.
Sukar diterapkan karena tidak mudah memahami struktur kognitif manusia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2011


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2011 
TENTANG
PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan, Pendampingan, dan Pemulihan Terhadap Anak yang Menjadi Korban atau Pelaku Pornografi;
Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Anak yang menjadi korban pornografi adalah anak yang mengalami trauma atau penderitaan sebagai akibat tindak pidana pornografi.
2. Anak . . .
- 2 -
2. Anak yang menjadi pelaku pornografi adalah anak yang melakukan tindak pidana pornografi.
3. Pembinaan adalah serangkaian kegiatan untuk membentuk dan meningkatkan jati diri anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi kearah yang lebih baik sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar baik fisik, kecerdasan otak, mental, dan spiritual.
4. Pendampingan adalah suatu upaya atau proses yang dimaksudkan untuk memberdayakan diri anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sehingga dapat mengatasi permasalahan dirinya sendiri.
5. Pemulihan adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, dan sosial sehingga anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.
6. Pemulihan kesehatan fisik dan mental adalah upaya untuk mengembalikan kondisi kesehatan jasmani dan jiwa termasuk inteligensia dan spiritual anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sehingga mampu hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
7. Pemulihan sosial adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi sosial anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sehingga mampu untuk kembali ke keluarga dan masyarakat dan mampu menjalankan fungsi sosialnya secara wajar.
8. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat, yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
9. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
10. Lembaga sosial adalah lembaga kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai kesejahteraan sosial.
11. Lembaga . . .
- 3 -
11. Lembaga pendidikan adalah satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai sistem pendidikan nasional.
12. Lembaga keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh Warga Negara Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik.
13. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
14. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama-sama di sekitar lingkungan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi yang berperan dalam pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.
15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Pasal 2
(1) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi wajib dibina, didampingi, dan dipulihkan kondisi sosial dan kesehatannya sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat.
(2) Kewajiban membina, mendampingi, dan memulihkan kondisi sosial dan kesehatan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 . . .
- 4 -
Pasal 3
Dalam melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat harus memberikan pelayanan sehingga terpenuhi kebutuhan dan kepentingan terbaik anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Pasal 4
Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan dalam melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus berdasarkan standar pelayanan.
Pasal 5
(1) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.
(2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat penanganan awal, pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Pasal 6
Standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menjadi pedoman bagi Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan dalam melakukan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Pasal 7
(1) Dalam hal diperlukan, Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan dapat mengembangkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sesuai dengan kebutuhan dan tugas fungsinya masing-masing.
(2) Pengembangan . . .
- 5 -
(2) Pengembangan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi serta dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 8
Pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat diberikan di fasilitas pelayanan kesehatan, panti sosial, pondok pesantren dan yayasan keagamaan, satuan pendidikan, dan tempat lain yang memberikan pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.
Pasal 9
Petugas pada tempat pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 wajib:
a. memberikan layanan secara komprehensif;
b. memberikan perlindungan dan pemenuhan hak;
c. memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan; dan
d. menjaga kerahasiaan.
Pasal 10
(1) Dalam menerima dan melayani anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi, petugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 terlebih dahulu harus melakukan identifikasi terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan penanganan yang tepat untuk anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(3) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar pelayanan.
Pasal 11 . . .
- 6 -
Pasal 11
Dalam hal tempat pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan sesuai dengan hasil identifikasi, lembaga pelayanan tersebut dapat melakukan rujukan kepada tempat lain yang memiliki kemampuan.
BAB II
PEMBINAAN
Pasal 12
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib melaksanakan pembinaan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Pasal 13
Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya:
a. melakukan koordinasi;
b. melakukan sosialisasi;
c. mengadakan pendidikan dan pelatihan;
d. meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat; dan
e. melakukan pembinaan melalui sistem panti dan nonpanti.
Pasal 14
Dalam melaksanakan pembinaan, lembaga sosial paling sedikit melakukan:
a. bimbingan mental spiritual;
b. bimbingan fisik, disiplin, dan kepribadian;
c. konseling;
d. pelayanan program pendidikan mandiri;
e. pelatihan vokasional;
f. penggalian potensi dan sumber daya; dan/atau
g. peningkatan kemampuan dan kemauan.
Pasal 15 . . .
- 7 -
Pasal 15
Dalam melaksanakan pembinaan, lembaga pendidikan paling sedikit melakukan:
a. kegiatan penanaman nilai-nilai budi pekerti;
b. pengawasan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi di lembaga pendidikan;
c. pengintegrasian bahan kajian pencegahan pornografi pada mata pelajaran yang relevan;
d. kegiatan ekstrakurikuler yang mengarahkan anak agar terbebas dari pengaruh pornografi; dan
e. sosialisasi peraturan perundang-undangan mengenai pornografi.
Pasal 16
Dalam melaksanakan pembinaan, lembaga keagamaan paling sedikit melakukan kegiatan:
a. bimbingan keagamaan yang meliputi aspek keimanan, sosial kemasyarakatan, dan akhlak;
b. pemberian motivasi untuk memahami dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai keagamaan; dan
c. konseling keagamaan.
Pasal 17
Dalam melaksanakan pembinaan, keluarga dan/atau masyarakat:
a. mengupayakan pemecahan atas permasalahan yang dihadapi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi;
b. memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai moral dan agama serta bahaya dan dampak pornografi;
c. membangun komunikasi yang baik antara orang tua dan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi;
d. mengawasi pergaulan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi;
e. mengawasi penggunaan sarana komunikasi dan sarana informasi yang digunakan oleh anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi; dan/atau
f. melakukan . . .
- 8 -
f. melakukan kegiatan lain dalam rangka pembinaan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
BAB III
PENDAMPINGAN
Pasal 18
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib melaksanakan pendampingan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Pasal 19
Dalam melaksanakan pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya menyediakan:
a. pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial;
b. tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih;
c. petugas pembimbing rohani/ibadah;
d. tenaga pendidik; dan
e. tenaga bantuan hukum.
Pasal 20
Dalam melaksanakan pendampingan, lembaga sosial melakukan:
a. konseling;
b. terapi psikologis;
c. advokasi sosial;
d. peningkatan kemampuan dan kemauan;
e. penyediaan akses pelayanan kesehatan; dan/atau
f. bantuan hukum.
Pasal 21 . . .
- 9 -
Pasal 21
Dalam melaksanakan pendampingan, lembaga pendidikan formal melakukan:
a. pencegahan dengan memberikan kesadaran dan pengetahuan tentang bahaya pornografi melalui pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain yang dapat mencegah terjadinya tindakan pornografi;
b. bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh guru yang memiliki kompetensi dibidang bimbingan dan konseling;
c. pendidikan khusus; dan/atau
d. kegiatan lain yang diperlukan.
Pasal 22
(1) Dalam melaksanakan pendampingan, lembaga keagamaan:
a. menyiapkan pendamping yang kompeten di bidang keagamaan; dan
b. menyiapkan model dan materi pendampingan yang terencana, sistemik, berkelanjutan, dan nyaman.
(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui peningkatan:
a. kesadaran dan pengetahuan tentang dampak buruk pornografi;
b. motivasi dan keyakinan tentang kehidupan masa depan yang lebih baik; dan
c. kepercayaan diri.
Pasal 23
Dalam melaksanakan pendampingan, keluarga dan/atau masyarakat:
a. memberikan dukungan psikologis;
b. memberikan motivasi agar anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat mengatasi permasalahannya; dan/atau
c. membangun . . .
- 10 -
c. membangun hubungan yang setara dengan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi agar bersedia membuka diri dalam mengemukakan permasalahannya.
BAB IV
PEMULIHAN
Bagian Kesatu
Pemulihan Kesehatan Fisik dan Mental
Pasal 24
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib melaksanakan pemulihan kesehatan fisik dan mental terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Pasal 25
Dalam melaksanakan pemulihan kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya menyediakan:
a. tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih;
b. petugas pembimbing rohani/ibadah yang kompeten;
c. pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial; dan
d. sarana dan prasarana pemulihan kesehatan fisik dan mental anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Pasal 26
Dalam melaksanakan pemulihan kesehatan fisik dan mental, lembaga sosial melakukan:
a. terapi psikososial;
b. konseling;
c. kegiatan yang bermanfaat;
d. rujukan . . .
- 11 -
d. rujukan ke rumah sakit, rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat alternatif lain sesuai dengan kebutuhan; dan/atau
e. resosialisasi.
Pasal 27
Dalam melakukan pemulihan kesehatan fisik dan mental, lembaga pendidikan:
a. memberikan bimbingan dan konseling di bawah pengawasan guru pembimbing di satuan pendidikan; dan
b. mengantarkan ke fasilitas pelayanan kesehatan dalam hal anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi mengalami penderitaan fisik.
Pasal 28
Dalam melakukan pemulihan kesehatan fisik dan mental, lembaga keagamaan:
a. memotivasi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama;
b. mendorong dan melibatkan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi untuk berperan serta secara aktif dalam kegiatan keagamaan; dan
c. memantau anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi selama masa pemulihan.
Pasal 29
Dalam melaksanakan pemulihan kesehatan fisik dan mental, keluarga dan/atau masyarakat:
a. memberikan dukungan psikologis;
b. melakukan pengasuhan secara berkelanjutan; dan
c. mendampingi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi selama masa pemulihan.
Pasal 30 . . .
- 12 -
Pasal 30
Penanganan pemulihan kesehatan fisik dan mental dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih dan/atau petugas pembimbing rohani/ibadah yang kompeten.
Pasal 31
(1) Penanganan pemulihan kesehatan fisik dan mental dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Layanan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kuratif dan rehabilitatif.
Pasal 32
(1) Pemulihan kesehatan fisik dan mental yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan diberikan dalam bentuk pelayanan yang meliputi:
a. pemeriksaan fisik, mental, dan kesehatan inteligensia;
b. pengobatan; dan
c. pencegahan terhadap penyakit menular.
(2) Bentuk pelayanan pemeriksaan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. konseling; dan
b. terapi perorangan/individu, keluarga, dan kelompok.
(3) Bentuk pelayanan pemeriksaan kesehatan inteligensia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. identifikasi gangguan kesehatan inteligensia;
b. pemeliharaan kesehatan inteligensia; dan
c. pemulihan kesehatan inteligensia.
(4) Pemulihan kesehatan fisik, mental, dan kesehatan inteligensia, dilaksanakan berdasarkan standar profesi, standar operasional prosedur, dan standar pelayanan.
Bagian Kedua . . .
- 13 -
Bagian Kedua
Pemulihan Sosial
Pasal 33
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat wajib melaksanakan pemulihan sosial terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Pasal 34
Dalam melaksanakan pemulihan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya:
a. melakukan resosialisasi;
b. memberikan penyuluhan mengenai nilai-nilai moral yang bersumber dari ajaran agama sesuai dengan agama yang dianut anak;
c. memberikan atau meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat menerima kembali anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi; dan
d. melakukan pemantauan secara berkala.
Pasal 35
(1) Dalam melaksanakan pemulihan sosial, lembaga sosial melakukan rehabilitasi sosial.
(2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a. motivasi dan diagnosis psikososial;
b. perawatan dan pengasuhan;
c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d. bimbingan mental spiritual;
e. bimbingan fisik;
f. bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g. pelayanan aksesibilitas;
h. bantuan dan asistensi sosial;
i. bimbingan . . .
- 14 -
i. bimbingan resosialisasi;
j. bimbingan lanjut; dan/atau
k. rujukan.
Pasal 36
(1) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilaksanakan dengan tahapan:
a. pendekatan awal;
b. pengungkapan dan pemahaman;
c. penyusunan rencana pemecahan masalah;
d. pemecahan masalah;
e. resosialisasi;
f. terminasi; dan
g. bimbingan lanjut.
(2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Dalam melaksanakan pemulihan sosial, lembaga pendidikan memberikan bimbingan konseling yang dilakukan oleh guru yang memiliki kompetensi.
Pasal 38
Dalam melaksanakan pemulihan sosial, lembaga keagamaan melakukan:
a. pemberian motivasi;
b. pengasuhan;
c. penyuluhan keagamaan;
d. pembimbingan kemasyarakatan;
e. pembimbingan keagamaan yang berkelanjutan; dan
f. pembimbingan dan pelatihan tentang keteraturan, kedisiplinan, keteladanan dan memahami serta mengamalkan ajaran agama secara baik.
Pasal 39 . . .
- 15 -
Pasal 39
Dalam melaksanakan pemulihan sosial, keluarga dan/atau masyarakat:
a. berempati dan tidak menyalahkan atas permasalahan yang dihadapi;
b. memberikan rasa nyaman dalam meningkatkan kepercayaan diri; dan/atau
c. memberikan motivasi agar anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat mengatasi permasalahannya.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 40
(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.
(3) Pemerintah kabupaten/kota melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi yang dilakukan oleh lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan atau lembaga lain yang diperlukan.
Pasal 41
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 42 . . .
- 16 -
Pasal 42
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 bertujuan untuk:
a. menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi; dan
b. meningkatkan kualitas penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Pasal 43
(1) Pengawasan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dilakukan melalui penilaian terhadap penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
BAB VI
PENDANAAN
Pasal 44
Pendanaan penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 17 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 September 2011 9 September 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 September 2011 9 September 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 8686
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2011 2011
TENTANG
PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI
I. UMUM
Anak merupakan harapan bangsa yang memiliki potensi besar dalam menjaga eksistensi dan kelestarian suatu bangsa dan negara. Untuk itu anak perlu dilindungi dan dijaga dari segala ancaman yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangannya.
Salah satu ancaman yang cukup signifikan dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak adalah pornografi. Dampak pornografi bagi anak sangat berbahaya, karena pornografi secara cepat dan kuat menstimulasi keinginan anak untuk menjadi pecandu seksual. Anak yang telah terkena pengaruh pornografi tidak hanya menjadikannya sebagai pecandu seksual tetapi juga dapat menjadikannya sebagai pelaku kekerasan seksual. Kekerasan seksual tersebut umumnya berobjek pada anak lainnya terutama pada anak perempuan sebagai korban.
Anak yang menjadi korban kekerasan seksual atau korban pornografi umumnya mengalami penderitaan secara fisik, psikis, dan mental sehingga memerlukan pelayanan untuk memulihkan kondisinya baik fisik, psikis, mental, spiritual, maupun sosial anak. Dengan demikian diharapkan anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, dapat menjalankan aktivitasnya dan dapat hidup secara wajar dalam lingkungannya.
Sementara terhadap anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual atau pelaku pornografi perlu juga diberikan pelayanan dalam memulihkan kondisinya sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sehat. Di samping itu dapat dikatakan bahwa anak yang menjadi pelaku pornografi pada hakekatnya adalah anak yang
menjadi . . .
- 2 -
menjadi korban pornografi. Pelayanan yang diberikan kepada anak pelaku pornografi tersebut dapat berupa pembinaan, pendampingan, dan pemulihan dengan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan anak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam rangka memberikan perlindungan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengamanatkan bahwa Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental. Kewajiban tersebut hanya dapat terselenggara dengan baik apabila disertai dengan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Agar penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dilaksanakan secara optimal, maka perlu ada kerja sama yang baik antar Pemerintah dan pemerintah daerah dengan lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat. Kerja sama tersebut diperlukan mengingat anak memerlukan pelayanan lanjutan yang tidak dapat ditangani oleh satu lembaga. Untuk itu lembaga-lembaga tersebut dapat melakukan kerja sama untuk saling melakukan rujukan. Selain lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan fasilitas pelayanan kesehatan, peran keluarga dan masyarakat sangat diperlukan bagi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi untuk memberikan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.
Peran keluarga dan masyarakat dalam pembinaan antara lain meliputi memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai moral dan agama serta bahaya dan dampak pornografi, membangun komunikasi yang baik antara orang tua dan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi, mengawasi pergaulan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi, mengawasi penggunaan sarana komunikasi dan sarana informasi yang digunakan oleh anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. Keluarga dan masyarakat berperan pula dalam melaksanakan pendampingan
antara . . .
- 3 -
antara lain meliputi memberikan dukungan psikologis, memberikan motivasi agar anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat mengatasi permasalahannya.
Untuk menjamin tercapainya tujuan dan peningkatan kualitas penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan meliputi penilaian terhadap pelaksanaan norma, standar, prosedur dan kriteria, standar pelayanan minimal, dan standar operasional prosedur pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 . . .
- 4 -
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “tempat lain yang memberikan pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan” antara lain Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA).
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “petugas pada tempat pelayanan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi” antara lain pekerja sosial profesional, tenaga kesehatan, dan relawan sosial.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ketentuan ini dapat berupa fasilitasi, petunjuk teknis, bimbingan teknis, dan bantuan lainnya.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pembinaan melalui sistem panti dan nonpanti” adalah pembinaan terhadap anak yang dilakukan dalam institusi panti atau di luar panti seperti di lingkungan keluarga.
Pasal 14 . . .
- 5 -
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “konseling” dalam ketentuan ini adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga sosial dalam bentuk wawancara, dimana anak dibantu memahami dirinya secara lebih baik, agar anak dapat mengatasi kesulitan dalam penyesuaian dirinya terhadap berbagai peranan dan relasi serta menemukan pemecahan permasalahan yang tepat.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Peningkatan kemampuan dan kemauan dalam ketentuan ini diberikan dalam bentuk antara lain:
a. diagnosis dan pemberian motivasi;
b. pemberian stimulan;
c. pelatihan keterampilan;
d. peningkatan kepercayaan diri; atau
e. penanaman nilai-nilai etika.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c . . .
- 6 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kegiatan ekstrakurikuler” dalam ketentuan ini adalah kegiatan untuk menyalurkan hobi, minat dan bakat anak guna meningkatkan kemampuan, daya kreativitas, jiwa sportivitas dan rasa percaya diri antara lain melalui kegiatan olah raga, seni bela diri, seni musik, seni peran dan tari.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
Yang dimaksud dengan bimbingan keagamaan dalam ketentuan ini bukan hanya bimbingan yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan saja, tetapi juga antara manusia dengan manusia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d . . .
- 7 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “kegiatan lain” dalam ketentuan ini antara lain penempatan komputer di ruang keluarga dan pengawasan anak dalam penggunaan internet.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “advokasi sosial” dalam ketentuan ini adalah upaya memberikan pendampingan, perlindungan, dan pembelaan terhadap anak.
Advokasi sosial diberikan dalam bentuk penyadaran mengenai hak dan kewajiban, pembelaan terhadap hak dan pemenuhan hak.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e . . .
- 8 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Bantuan hukum bagi anak dilakukan dalam bentuk pembelaan dan/atau konsultasi hukum sesuai kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak.
Pemberian bantuan hukum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kegiatan lain yang diperlukan” dalam ketentuan ini antara lain olahraga, kegiatan kesenian, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang menunjang pulihnya peserta didik.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25 . . .
- 9 -
Pasal 25
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih” dalam ketentuan ini antara lain neurolog atau spesialis ahli syaraf, psikiater, dan terapis rehabilitasi medik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 26
Huruf a
Yang dimaksud dengan “terapi psikososial” dalam ketentuan ini adalah segala upaya pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial kepada anak yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kegiatan yang bermanfaat” antara lain permainan, olahraga, keterampilan dan rekreasi sesuai kebutuhan anak.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e . . .
- 10 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan “resosialisasi” dalam ketentuan ini adalah salah satu tahapan pelayanan rehabilitasi sosial yang bertujuan agar anak dapat menyesuaikan diri dalam lingkungan sosialnya.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih” dalam ketentuan ini antara lain neurolog atau spesialis ahli syaraf, psikiater, dan terapis rehabilitasi medik.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fasilitas pelayanan kesehatan” dalam ketentuan ini adalah alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat, antara lain rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, praktek perorangan dan klinik.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “layanan kesehatan yang bersifat kuratif” dalam ketentuan ini adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit atau
pengendalian . . .
- 11 -
pengendalian kecacatan agar kualitas anak dapat terjaga seoptimal mungkin.
Yang dimaksud dengan “layanan kesehatan yang bersifat rehabilitatif” dalam ketentuan ini adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan anak ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “diagnosis psikososial” dalam ketentuan ini adalah segala upaya menenangkan anak dengan cara memperbaiki psikis dan sosialnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pelatihan vokasional” dalam ketentuan ini adalah proses bimbingan dan pelatihan kepada anak agar memiliki keterampilan vokasional yang memadai.
Huruf d . . .
- 12 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “bimbingan sosial” dalam ketentuan ini adalah berbagai bentuk kegiatan membantu anak untuk meningkatkan kemampuannya, memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah, serta menjalin dan mengendalikan hubungan-hubungan sosial mereka dalam lingkungan sosialnya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “pelayanan aksesibilitas” dalam ketentuan ini adalah kemudahan yang disediakan bagi anak guna mewujudkan kesamaan, kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “bantuan sosial” dalam ketentuan ini adalah segala upaya yang diarahkan untuk meringankan penderitaan, melindungi, dan memulihkan kondisi kehidupan fisik, mental, dan sosial (termasuk kondisi psikososial dan ekonomi) serta memberdayakan potensi yang dimiliki agar anak yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.
Yang dimaksud dengan “asistensi sosial” dalam ketentuan ini adalah bentuk perlindungan sosial yang bertujuan memberi bantuan kepada anak yang tidak dapat tinggal di keluarganya.
Huruf i . . .
- 13 -
Huruf i
Yang dimaksud dengan “bimbingan resosialisasi” dalam ketentuan ini adalah serangkaian kegiatan untuk memfasilitasi anak yang telah memperoleh layanan pemulihan psikososial agar dapat kembali ke dalam keluarga dan masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “bimbingan lanjut” dalam ketentuan ini adalah rangkaian kegiatan untuk lebih memantapkan kemandirian anak, baik berupa konsultasi, bantuan ulang, bimbingan peningkatan/pengembangan/pemasaran maupun petunjuk lain untuk memperkuat kondisi kehidupan bermasyarakat.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “rujukan” dalam ketentuan ini adalah pengalihan wewenang kepada pihak lain, untuk menangani anak lebih lanjut karena dinilai masih membutuhkan pelayanan atau bantuan sosial lanjutan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d . . .
- 14 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “terminasi” dalam ketentuan ini adalah pemutusan hubungan pelayanan bagi anak.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengasuhan” dalam ketentuan ini adalah bentuk pemenuhan kebutuhan anak ketika berada di lembaga pendidikan keagamaan, seperti bimbingan pembelajaran di pesantren.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pembimbingan kemasyarakatan” dalam ketentuan ini adalah suatu proses dimana anak bekerja sama untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan kesejahteraan sosial, merencanakan cara-cara memenuhi
kebutuhan . . .
- 15 -
kebutuhan tersebut, serta memobilisasi sumber-sumber yang ada di dalam masyarakat dengan berlandaskan pada prinsip partisipasi sosial.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 39
Huruf a
Yang dimaksud dengan “empati” dalam ketentuan ini adalah kemampuan untuk mengenali, menghayati, dan memahami perasaan anak.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemantauan” dalam ketentuan ini adalah kegiatan pengamatan terhadap penyelenggaraan
pembinaan . . .
- 16 -
pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Yang dimaksud dengan “evaluasi” dalam ketentuan ini adalah kegiatan penilaian terhadap tingkat pencapaian penyelenggaraan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi secara terukur dan objektif.
Yang dimaksud dengan “pelaporan” dalam ketentuan ini adalah kegiatan penyampaian hasil evaluasi.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5237 5237